Sabtu, 10 November 2018

Im done


Hari ini akhirnya datang juga, dimana seluruh asa dan angan luruh bersama butiran hujan, mengaum, menyentuh lantai, padang rumput, terpal, atap rumah hingga membentuk rintihan kekecewaan.

Akhirnya hari ini tiba jua, dimana seluruh rasa dan raga tak dapat ditorehkan, tak dapat digantungkan dipundakmu lagi.

Berjalan beriringan, tertawa suka cita, saling menatap penuh rindu. Ingatkah kau berapa mil jauhnya daratan yang kita lalui untuk sampai di fase ini? Mungkin kau akan melupakannya. Kini jarak itu semakin menjauh, tak ada lagi jalan beriringan apalagi tertawa bersama. Tak masalah buatku jarak, tak berat bebanku untuk rindu, tak akan habis waktu ku menunggu. Tapi kau berkata lain. Kau memilih untuk tetap membuat jarak semakin pekat, rindu semakin kelam dan waktu semakin usang.

Aku tau akan berakhir seperti apa.

Seperti membaca sebuah cerita, kau akan selalu tau bagaimana akhirnya. Judul yang berbeda, pengarang yang berbeda, jalan cerita yang berbeda tapi selalu berakhir sama. Sama sama melelahkan. 

Sesaat aku berpikir, mungkin kali ini akan berbeda sedikit, ya aku pasti bisa membuatnya sedikit berbeda.  Namun Allah punya rencana lebih indah untukku. Mungkin memang bukan sekarang, mungkin memang bukan cerita ini yang harus berakhir bahagia. 

Selamat tinggal bukuku, selamat tinggal episode kali ini. Aku tau, aku pengarang yang amat buruk tapi percayalah setiap cerita yang aku tuliskan itu adalah hasil dari sebuah ketulusan. Maaf bila kau terluka saat membacanya.l

Sabtu, 21 Juli 2018

Pertemuan


Semua tentang hujan
Aku selalu memulai cerita ketika rintik jatuh ke permukaan. Bulir-bulirnya membasahi pucuk dedaunan. Dinginnya menelusuk ke dalam tulang. Suaranya yang senyap membangunkan para penikmat malam. Lengkap sudah ketika dirimu hadir di bumi. Sang pencipta tau bagaimana caranya melengkapi suasanaku malam ini. Aku hanya butuh kopi dan hujan untuk memulai kisah ini. Kisah yang sudah ku mulai beberapa waktu lalu. Kisah yang akan aku sesali nantinya. Tapi tetap saja sifat keras kepala ini tidak mau berkompromi dengan hati yang sedang jatuh cinta. Pikirku "biarlah aku nikmati sesal itu nantinya". Dan lihatlah, saat ini aku teramat menikmati sesal itu tanpa kesedihan, tanpa air mata.
Hujan malam ini tidak terlalu deras tapi cukup untuk membasahi jalanan, membuat lari para pejalan kaki mencari tempat berteduh, memberi alasan muda mudi untuk berlama-lama di kedai kopi. Menghirup aroma biji kopi yang diseduh dengan temperatur air yang disesuaikan agar menghasilkan rasa yang istimewa. Mereka duduk dipinggir jendela besar yang langsung menghadap ke jalanan kota. Bukan tanpa alasan kenapa si pria memilih tempat duduk tersebut, tapi karena dia menyukai keramaian jalanan. Bukan untuk berada diantaranya tapi hanya sekedar melihat hiruk pikuk jalanan. Sama. Wanita itu juga menyukainya. Lagi. Mereka menyukai hal yang sama. Pesanan kopi mereka selalu sama. Espresso dan latte. Padahal malam itu si pria sudah bertekad tak ada acara keluar malam ini. Hujan yang sejak tadi sore membungkus kota itu cukup untuk memberi alasan si pria bermalas-malasan diatas kasur yang empuk. Tetapi ajakan sang wanita terlalu menggoda. Kenyataanya dia hanya akan memesan kopi itu lagi di tempat yang sama. Ntah mengapa si pria tidak bisa menjawab tegas untuk menolaknya.
Tertawa. Hal yang terdengar biasapun bisa membuat mereka tertawa. Karena apa? Apa memang hal yang dibicarakan terlalu lucu? Atau tawa itu hanya mewakilkan hati mereka yang bahagia saling bertemu? Oh ntahlah hanya mereka berdua yang tau. Si wanita memakai atas jaket denim, celana jeans dengan sepatu sporty biru,. 

     Telfon genggam si wanita berbunyi. Tampaknya yang menghubungi adalah kekasih hatinya yang sedang berada jauh darinya. Lalu tanpa ada perasaan bersalah atau sungkan, dia mengangkat telp itu di depan pria yang tertawa bersamanya tadi. Kemudian si wanita menjawab ia sedang berada dimana dan bersama siapa saat itu, ntah apa yang dibicarakan oleh pria di seberang sana lalu sang wanita tersenyum sambil tertawa. Pria itu melihatnya. Melihat wanita di depannya tersenyum bahagia. Kemudian sekejap saja muncul perasaan sedih di hati pria tersebut melihat wanita di depannya tertawa bahagia bukan karenanya.
Wahai pujangga cinta, kejam sekali engkau menaruh sekeping rasa diantara mereka. Teramat kejam karena tidak seharusnya ada. Lihatlah tatapan pria itu penuh sendu dan mendung, padahal engkau tau sedari kecil ia telah menanggung begitu banyak kesedihan. Tapi malam ini engkau lagi dan lagi menumpahkan kesedihan di hidupnya. Bagaimana mungkin ia menyukai wanita di hadapannya yang teramat menawan. Bahkan untuk mengandaikannya saja terdengar mustahil.
Setelah si wanita mengakhiri telponnya, ia menatap wajah pria itu tapi seperti ada mendung disana. Sepanjang sisa obrolan mereka, si pria hanya diam, sesekali menjawab pendek ketika wanita tersebut bertanya. “kamu kenapa?” akhirnya wanita itu bertanya karena ia merasakan pria di depannya tiba-tiba menjadi dingin.
Wanita itu tau kenapa si pria tiba-tiba berubah menjadi dingin tapi dia tetap melayangkan pertanyaan itu. Dia berharap apa yang si pria itu katakan akan berbeda dari perkiraannya. Wanita itu juga tau perasaan apa yang selalu muncul saat ia menghabiskan detik demi menit bersama si pria. Dia hanya tak ingin mengakuinya karena dengan begitu ia akan tetap punya alasan untuk terus bersama si pria itu. Egois. Teramat.

Kamis, 12 April 2018

Belajar sepanjang hayat

       Hari ini seperti biasanya, aku menghabiskan waktu berhadapan dengan berbagai macam karakter manusia di ruangan kecil bercat putih. Tampak beberapa peralatan medis memenuhi ruangan itu seperti tabung oksigen, bed pasien, lemari yg berisikan obat obatan emergensi.
           Satu persatu pasien memasuki ruanganku, mulai dari bayi, anak kecil remaja sepasang suami istri bahkan ada yg membawa rombongan satu keluarga untuk berobat. Satu keluarga sakit, apalagi kalau bukan batuk pilek. Virus salesma ini memang gencar sekali menularkan ke orang yang kontak langsung dengan si pembawa virus itu.
          Sesekali ada kasus gawat darurat yang ku tangani seperti sinkop, kolik abdomen, kecelakaan lalulintas maupun seorang wanita muda yang  sedang hamil dengan keluhan sesak nafas. Setelah ditelusuri ia tidak punya riwayat sesak nafas sebelumnya, hasil pemeriksaan fisik pasien maupun janin dalam batas normal, aku mulai kebingungan dengan diagnosa si pasien. Selang observasi setengah jam menghirup oksigen, pasien tak kunjung berkurang sesaknya. Tampak dari wajah pasien yg berkeringat serta gelisah. Apakah perlu dirujuk??lagi-lagi aku harus menggali lebih dalam penyebab sesaknya. Tapi setelah aku perhatikan, kenapa si pasien hanya ditemani oleh seorang teman wanitanya saja. Akhirnya aku inisiatif bertanya kemana si suami pasien, kenapa sejak setengah jam pasien disini si suami tak kunjung datang. Ternyata oh ternyata si pasien habis bertengkar dengan suaminya dan setelah itu keluhan sesak nafasnya muncul. Tegaklah diagnosaku. Hahahaaa setelah berpikir keras dengan diagnosa pasien, aku melewatkan anamnesa penting itu. Setelah suami si pasien datang, aku meninggalkan mereka berdua. Tak lama setelah itu si suami keluar dengan merangkul istrinya, sontak aku bertanya "loh ibuk udah gak sesak lagi?" lalu wanita itu menjawab sambil tersenyum "udah enakan dok, saya mau pulang saja"
          Dari pasien, aku belajar banyak hal. Teori yang selama 4tahun aku pelajari ditempa 2tahun dengan berhadapan langsung dengan pasien walapun terkadang hanya melihat dari jauh lalu ditambah 1tahun dengan magang di rsud. Rasanya itu belum cukup, masih banyak hal-hal baru diluar sana yang membuat aku harus terus belajar. Yah memang pepatah itu tak pernah salah "long life study" itu sangat berlaku bagiku yg berprofesi menggunakan jas putih ini.
             Terkadang ilmu bukan hanya kita dapatkan dari text book saja tapi pelajaran paling berharga adalah melalui kehidupan.

Selasa, 13 Maret 2018

Perkara mimpi

04.11 
Suara ayam berkokok kembali menggema menandakan akan masuk waktu shubuh. Tapi mata ini belum terpejam barang 1 menitpun. Harusnya aku tak meminum coffee latte itu, harusnya aku sudah terlelap sejak mengucapkan "goodnight" kepada seseorang. Apa daya aku yang telah menghabiskan bercangkir cangkir kopi sejak mengenalnya, masih tetap berefek.
Genap sudah 4bulan yll aku menyelesaikan tugas itu. Tugas yang akhirnya membuat aku resmi menyandang gelar tersebut. Aku patut berbangga hati atas pencapaian itu. Karena sungguh terasa amat berat melalui titik ini. Ku pikir setelah melaluinya aku akan merasa lega. Setidaknya berkurang satu beban dihidupku. Tapi kembali aku harus dihadapkan oleh pilihan. Aku harus memilih akan menjalani hidup seperti apa.
Aku sudah memikirkan ini sejak awal mulai penugasan ku, tapi saat itu aku setidaknya masih punya waktu yang panjang. Kini waktu yang panjang tadi terhitung minus. Kemana saja aku menghabiskannya??
Helaan panjang mengisi pertanyaan itu
Seharusnya saat ini aku berada di salah satu ruangan putih yang bermandikan cahaya yang di setiap sudut ruangannya dipenuhi rak-rak yang berisikan obat-obatan emergency, marmer putihnya di nodai oleh bercak darah atau setidaknya aku berada di sebuah ruangan mengenakan jas putih kebanggaan itu.
Tapi yang kudapati kini aku berada di sebuah kamar tidurku lalu mencoba mengais-ngais mimpiku.
Perkara sederhana memang ketika membicarakan ttg mimpi. Setiap anak kecil yang kau temui, mereka pasti bersemangat menyebutkan cita-cita mereka seolah itu hal yang teramat membahagiakan. Mimpi yang sedari kecil tak ku punya. Pernah guru bertanya ttg cita-cita ku saat aku masih memakai seragam merah putih, lalu aku melihat sekeliling sambil menjawab polos "saya mau jadi dokter buk".
Bukan karena aku ingin atau bukan karena aku habis menonton acara yang menampilkan seorang dokter, bukan, tapi karena 2/3 isi kelas menjawab hal yang sama.